Perang Laut China Selatan Bisa Pecah Kapan Saja, Indonesia Tak Boleh Tinggal Diam

KRI Sutedi Senoputra sedang patroli di perairan Laut Natuna Utara. Kehadiran TNI AL di perairan tersebut sebagai upaya untuk menjaga kedaulatan Indonesia. Foto: Dok. Dispen TNI AL
Laut China Selatan (LCS) adalah bara yang bisa saja menjadi api perang di dekat Indonesia. Itu karena LCS juga bisa menjadi permata yang menggoda banyak pihak untuk menguasainya.
Share the Post:

oleh : Dr. Andika Hendra Mustaqim, M.Hum*
(*) Staf Pengajar di Universitas Bina Sarana Informatika. 

Laut China Selatan (LCS) adalah bara yang bisa saja menjadi api perang di dekat Indonesia. Itu karena LCS juga bisa menjadi permata yang menggoda banyak pihak untuk menguasainya. Itulah kenapa banyak negara memperebutkan LCS sehingga perang bisa saja pecah kapan saja di kawasan tersebut. Akibatnya, Indonesia yang berada di dekat perbatasan LCS pun ikut terkena getahnya. 

Indonesia makin gerah ketika China Daily mengumumkan Peta Standar China 2023 yang diklaim mendorong pembangunan bangsa dan peradaban. Dalam peta tersebut, China mempertahankan klaim klasiknya yang disebut sebagai sembilan garis putus-putus (nine-dash-line) di kawasan LCS. 

Melansir BBC, hal terbaru dalam peta ini adalah masuknya kawasan laut bagian timur Taiwan sehingga menambah satu garis putus–dari sembilan menjadi 10 garis putus-putus (ten dash line). 10 garis putus-putus dalam peta baru China ini juga memperluas klaim atas wilayah laut yang berbatasan zona ekonomi eksklusif milik Malaysia dekat Sabah dan Sarawak, Brunei, Filipina, Indonesia dan Vietnam.

Selain itu, hubungan dengan China perihal LCS dan Natuna. Pada Desember 2021, China pernah meminta Indonesia menghentikan pengeboran minyak dan gas alam di wilayah Natuna yang berdekatan dengan LCS karena merupakan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia.

Dan hal paling berbahaya adalah kedaulatan Indonesia terancam karena konflik Laut China Selatan. Perang pun bisa pecah kapan saja di LCS. Mau tak mau, Indonesia tidak boleh tinggal diam dan harus bergerak serta bersiap-siap. 

Seperti diungkapkan Pensiunan Laksamana Angkatan Laut AS James Stavridis, mantan panglima tertinggi sekutu NATO di Eropa, mengatakan bahwa perang dunia baru bukan muncul di Ukraina dan Eropa. Melansir Newsweek pada Desember 2023, dia memprediksi, perang dunia baru akan muncul di LCS. 

Perang Laut: Indonesia Memiliki Doktrin Perang Semesta

Pada 21 Maret 2024 lalu, Brahma Chellaney, profesor emeritus studi strategis di Pusat Penelitian Kebijakan yang berbasis di New Delhi dan penulis “Water, Peace, and War: Confronting the Global Water Crisis”, menulis sebuah artikel di Japan Times yang menyebutkan bahwa risiko eskalasi perang terbesar mungkin terletak di Laut China Selatan, tempat upaya agresif China untuk memperkuat dominasinya sering kali berujung pada konfrontasi yang berbahaya, termasuk dengan kapal perang dan pesawat Amerika Serikat (AS). 

Chellaney mengungkapkan, baik Angkatan Laut dan Angkatan Udara China secara rutin berpatroli di zona ekonomi eksklusif tetangganya dan penjaga pantainya – yang terbesar dan paling termiliterisasi di dunia – telah melakukan “patroli yang mengganggu” di ladang minyak dan gas lepas pantai negara lain. Tentunya, apa yang dilakukan China adalah membayangi, memburu, dan mengganggu kapal-kapal milik AS, serta negara-negara tetangga yang lebih kecil, seperti Filipina dan Vietnam, yang memiliki klaim teritorial di wilayah tersebut. 

Dari analis Chellaney menunjukkan kemungkinan perang yang bisa terjadi adalah perang laut. Hal tersebut sangat masuk akal karena wilayah yang diperebutkan sebagian besar adalah laut. Titik konfliknya adalah laut, meskipun banyak terumbu karang dan pulau buatan yang sudah dibangun. 

Dengan begitu, siapa yang memiliki armada Angkatan Laut yang kuat, maka mereka yang siap dalam menghadapi pertempuran di LCS. Kekuatan militer Indonesia dalam pemeringkatan versi Global Fire Global berada pada posisi ke-15. Indonesia memiliki total aset 332, dengan 205 kapal patroli, 25 kapal corvettes, 4 kapal selam dan 8 frigates. Untuk armada Angkatan Udara, Indonesia memiliki 14 pesawat jenis fighter dan 37 kapal jenis penyerang, dengan dukungan 210 helikopter dan 15 helikopter perang. Dengan jumlah tentara aktif mencapai 400.000 pasukan, Indonesia menjadi negara yang patut disegani di kawasan LCS.

Namun demikian, pengalaman suatu negara dalam perang laut juga menjadi suatu hal pengalaman berharga. Sejarah mencatat bahwa Indonesia pernah mengalami perang laut yakni Perang Laut Aru yang terjadi di Laut Arafura di Maluku pada 15 Januari 1962. Itu merupakan perang antara Indonesia dan Belanda. Dalam perspektif pertahanan rakyat semesta yang dianut Indonesia menunjukkan perang laut menjadi suatu hal yang tidak bisa diabaikan. Sistem tersebut sebenarnya menjadi andalan Indonesia dalam persiapan menghadapi konflik di LCS.

Perang nuklir yang sangat mengerikan bisa saja terjadi di LCS. Kenapa? China sebagai pihak yang ikut dalam ketegangan di LCS merupakan negara yang memiliki senjata nuklir. Berdasarkan data Arms Control Association, per Oktober 2023, China memiliki 500 senjata nuklir dan diprediksi memiliki 1.000 hulu ledak nuklir pada 2030. Sedangkan AS yang ikut dalam ketegangan di LCS juga merupakan negara dengan kekuatan nuklir dengan memiliki 5.244 senjata nuklir. 

Kehadiran nuklir terapung di pulau buatan China di LCS untuk menjadi dalih bagi China bahwa mereka hadir dan siap untuk mempertahankan wilayah yang diklaim tersebut. Nuklir terapung tersebut juga memperlihatkan bahwa China sudah mempersiapkan diri untuk menghadapi perang nuklir di masa depan. Bagaimana dengan Indonesia? Menurut Nuclear Threat Initiative, Indonesia tidak memiliki program senjata nuklir. Apalagi, Indonesia juga negara yang menandatangani Non-Proliferation of Nuclear Weapons (NPT) pada 1970 dan sangat aktif mendorong pemusnahan senjata nuklir. 

Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi dalam berbagai kesempatan di forum diplomasi memperingatkan ancaman senjata nuklir yang bisa menyebabkan kesalahan kalkulasi sehingga menimbulkan kehancuran. Dalam Konferensi ASEAN pada Juli 2023 silam, Retno mengharapkan agar kawasan ASEAN menjadi zona bebas nuklir.

Apa yang sudah dilakukan Pemerintah Indonesia sudah tepat. Sudah selayaknya Indonesia menolak senjata nuklir karena hanya akan menciptakan malapetaka dan kehancuran. Dengan mendorong ASEAN sebagai zona bebas nuklir akan memberikan konsekuensi menghindarkan Laut China Selatan dari perang nuklir. Namun, seruan Indonesia harus mendapatkan dukungan dan meraih konsensus di ASEAN melalui upaya diplomasi yang gencar.

Perang Drone: Indonesia Siap dalam Perang Gerilya Modern

Sebuah drone survei lingkungan China jatuh di perairan antara Taiwan dan Filipina, Beijing memperingatkan pada Rabu (29/5/2024) ketika Tentara Pembebasan Rakyat (PLA) bersiap untuk meluncurkan latihan dua hari di sekitar pulau tersebut. Kecelakaan itu terjadi ketika ketegangan meningkat di LCS, dengan serangkaian perselisihan maritim antara kapal China dan Filipina dalam beberapa bulan terakhir. 

Kejadian itu menunjukkan bahwa perang drone memang sudah menjadi hal yang tak bisa dihindari di LCS. Hal tersebut semakin intensif dalam beberapa tahun terakhir. Sebenarnya itu sudah dimulai pada 2016 saat Angkatan Laut AS menyita unmanned underwater vehicle (UUV) milik China. AS juga berulang kali menerbangkan drone mata-mata MQ-4C Triton di Laut China Selatan yang dianggap Beijing memicu risiko konflik. Sudah menjadi fakta baik China dan AS semakin banyak menggunakan drone sipil dan militer di perairan yang disengketakan, termasuk di LCS. 

Menurut laporan “The Global Naval Vessels and Surface Combatants Market Forecast 2024-2034” dari GlobalData, China akan menghabiskan sekitar USD46,2 miliar untuk pengadaan berbagai kapal angkatan laut selama sepuluh tahun ke depan. Dari jumlah tersebut, 8,5% akan diarahkan untuk pengadaan kapal amfibi dan kapal induk, termasuk kapal induk drone.

Belajar dari perang Rusia dan Ukraina, di mana drone udara dan laut menjadi pengubah peperangan. Dunia juga dikejutkan ketika Iran mengirimkan 170 drone, 120 rudal balistik, dan 30 rudal jelajah ke Israel yang menunjukkan pesawat nirawak menjadi daya tawar dalam peperangan. Drone bukan sekadar sebagai alat bantu dalam peperangan, tetapi menjadi hal yang utama dan menjadi penentu kemenangan dalam perang.

Pada dasarnya, perang drone adalah perang gerilya baik di udara dan laut dengan teknologi berbasis artificial intelligence (AI). Bukannya Indonesia memiliki sejarah panjang dengan perang gerilya? Bedanya kini perang gerilya dilaksanakan dengan bantuan teknologi drone baik di darat dan laut. Terus, apakah Indonesia menjadi penonton saja dalam perang drone? Jawabannya tidak. TNI AU sudah memiliki berbagai drone, seperti CH-4 dan ANKA. Selain itu, Indonesia sudah membeli drone asal Turki, Bayraktar. TNI AU juga berencana menambah dua skuadron drone baik di Tarakan, Kalimantan Utara dan Malang, Jawa Timur. Untuk mengantisipasi perang drone di LCS, Indonesia sudah memiliki skuadron S2 di Natuna, Kepulauan Riau dan didukung dengan Skuadron S1 di Pontianak, Kalimantan Barat.

Kedepannya, Indonesia diharapkan memproduksi drone sendiri dengan mengandalkan banyak sumber daya manusia yang mumpuni di bidang tersebut. Dengan dukungan political will dari pemerintah, maka hal tersebut bukan hal mustahil. Jika Indonesia memiliki drone buatan sendiri, maka perang gerilya di udara dan laut bisa dimenangkan oleh Indonesia. 

Perang elektronik, sebagai salah satu jenis perang hibrida dan perang berbasis artificial intelligence, sudah lama dimulai di LCS. Perkembangan terbaru adalah peneliti China membuat terobosan dalam mengembangkan teknologi perang elektronik. Melansir dari India Times menyebutkan bahwa Beijing mampu mengembangkan metode berkelanjutan, bandwidth yang luas, monitoring real-time dan analisis spektrum elektromagnetik yang lebih efektif untuk mengalahkan musuh di medan perang. Dengan teknologi baru yang dikembangkan pada awal 2024 itu menjadikan China mampu melumpuhkan sinyal musuh dan mendekode karakteristik fisik musuh serta menetralkan mereka. 

Bagaimana Indonesia menghadapi perang elektronik di LCS? Indonesia masih tertinggal dan harus berbenah. Namun, semuanya belum terlambat. Indonesia diyakini mampu mengejar ketertinggalannya. Pasalnya, perang elektronik adalah perang hantu, suatu pertempuran yang tak terlihat. 

Itu dibuktikan dengan TNI Angkatan Udara mengirim 15 perwira untuk mengikuti pendidikan perang elektronika di MASS Consultant, Lincolnshire, Inggris, pada Juli 2023. Selain itu, TNI AL juga pernah menggelar latihan perang elektronika di wilayah Komando Armada I dan II pada Oktober 2023 silam. Latihan tersebut ditujukan untuk mengikuti perkembangan teknologi militer yang menjadi penentu dalam operasi laut. 

Alangkah baiknya jika Kementerian Pertahanan bekerja sama dengan Badan Riset dan Inovasi Nasional yang memiliki para ahli untuk mengembangkan teknologi perang elektronik. Dengan mengandalkan kemampuan dan keahlian para ahli teknologi militer Indonesia, maka mereka bisa membuat alat yang berbeda dan tidak bisa ditiru oleh negara lain. Dengan begitu, Indonesia akan mampu menjaga kedaulatan dengan perang berbasis pada artificial intelligence, seperti perang elektronik. 

Perang siber sudah dimulai di China. Apa buktinya? Vietnam yang cukup vokal terhadap China dalam kasus LCS, menurut analisis Viet Dung Trinh, kandidat PhD di Universitas Queensland, dalam artikelnya di East Asia Forum, menyatakan Vietnam kerap menjadi korban serangan siber oleh hacker asal China. 

Untuk perang siber, Indonesia sudah siap. Pada awal tahun 2024, Presiden Joko Widodo menyatakan bahwa TNI dan Polri harus memanfaatkan teknologi terutama untuk menghadapi perang siber yang makin meningkat. TNI juga memiliki Satuan Siber yang mengantisipasi perang multidimensional di dunia maya yang mulai bekerja pada 2017. Satuan Siber merupakan pasukan khusus yang menjadi Kopassus di dunia maya. 

Yang perlu dilakukan, seperti halnya dilakukan negara-negara Barat, Indonesia perlu merangkul para hacker dan peretas yang berkeliaran dan bekerja tanpa arahan. TNI melalui Satuan Siber bisa bekerja sama dengan mereka dengan menerapkan Doktrin Perang Semesta dengan menjadikan para hacker sebagai peserta bela negara. Dengan kemampuan hacker Indonesia yang sudah canggih dan mumpuni, maka Indonesia mempersiapkan diri dalam menghadapi perang siber, salah satu jenis perang hibrida, untuk menjaga kedaulatan Indonesia, terutama di LCS. (*)